Cerpen "KATA DUNIA"
KATA DUNIA
Karya : Triana Ridhaswari
Suasana yang cerah berselimutkan hawa dingin menyambut
pagi hariku hari ini, awan biru bersahabat dengan cahaya mentari menghiasi
langit nan indah. Kulihat pula burung berterbangan di cakrawala mengungkapkan kegirangan
rasa yang terpendam. Alunan suara merdunya memecah ketenangan air danau dalam
kesunyian alam. Hamparan rumput hijau menyejukkan mata bagi setiap orang yang
memandang, termasuk diriku.
Aku duduk terdiam memandang air danau, begitu tenang dan
damai. Aku kembali teringat kejadian 4 jam lalu dimana kami berhasil mencapai
puncak Semeru. Jalan kita yang telah ditempa, tak bisa dibayar oleh kata. Namun seketika pikiranku buyar saat aku mendengar
riuh tawa dibelakangku. Aku mengetahuinya, itu tawa sahabat-sahabatku.
“Hahahahah, mana
mungkin lah Rara tega kayak gitu”
“Tapi emang waktu itu
dia ngetawain aku kok”
“Tapi nih yah, aku juga
kalau lihat langsung pasti ketawa sepuasnya hahaha”
Canda mereka begitu
membuyarkan pikiranku, hingga akhirnya aku membayangkan apa yang mereka bicarakan
dan mulai membentuk senyum diwajahku. Ketika namaku terpanggil dan mereka
melanjutkannya aku sudah bisa menebak alur pikiran mereka. Tapi tiba-tiba
pikiranku kembali kosong saat mereka masih bercanda tawa.
“Hey, jangan ngelamun
dong. Gabung yu daripada senyum senyum sendiri, nanti disangka orang gila loh” ajak
Dimas
Entah kenapa aku selalu tak bisa menolak
setiap tawaran Dimas, tubuhku seperti mengiyakan pembicaraannya. Akhirnya aku
ikut bergabung bersama sahabat ‘gila’ ku.
“Udah selesaikan ?
Bubar bubar !” sahut Aldi
“Loh ? kok udahan ?
Kalian gitu deh, aku dateng semuanya bubar” jutekku pada mereka
“Lagian suruh siapa
daritadi sendiri terus, kesambet baru tau rasa” jawab Kevin
“Emang kamu tadi
sendiri, Ra ? Terus yang merhatiin kamu siapa ? ngga jauh dari semeter kok masa
ngga ngerasa” goda Ninda
Kebingungan dan
kegeeranku meningkat, siapa yang memperhatikanku ? Aku mulai bertanya-tanya
sekaligus senang saat mendengarnya, karena aku sepertinya tahu siapa yang
memperhatikanku. Tapi aku tetap berperilaku biasa saja.
Setelah cukup lama kita beristirahat sekaligus
bersiap-siap, kita pun langsung melanjutkan perjalanan untuk pulang. Kita
kembali ke Jakarta membawa beribu kebahagiaan yang telah kita rangkai. Walau
lelah yang kami rasakan, namun setelah berhasil mencapai puncak Gunung Bromo
bersama orang terkasih rasa lelah letih dan capai itu sirna seketika, seperti
dunia yang berkata kita kan bersama.
Kita mahasiswa tingkat 3 di salah satu universitas di
ibukota Indonesia ini. Kita memang baru bersahabat 2 tahun, itu pun karena kita
satu jurusan. Kita berlima terbilang kompak dan solid dalam hal apapun,
termasuk hobi. Kita berlima memang menyukai mendaki dan jalan-jalan, kita pasti
menyempatkan berlibur disela-sela padatnya aktifitas perkuliahan. Bukannya
ingin absen dari kuliah, tapi kita juga butuh refresh otak kita.
Seperti
sekarang ini, Dimas mengajak kita mendaki Gunung Slamet, meskipun kurang dari
sebulan lalu kita baru saja mendaki Gunung Semeru, namun kita menyetujuinya
apalagi aku yang tak bisa membantah apapun perkataan Dimas. Tapi tak seperti
bulan lalu saat mendaki Gunung Semeru yang memang diadakan oleh club pecinta
alam di kampus, kali ini keamanan, keselamatan dan juga waktu yang kurang tepat
menjadi kendala kita untuk mendaki. Akhirnya kita memutar otak untuk bisa
mendaki Gunung Slamet, walaupun track pendakian Gunung Slamet terkenal sulit
ditambah gunungnya yang masih sangat aktif, namun kita tetap ingin mendaki
gunung tertinggi di Jawa Tengah itu.
Dua
hari lagi kita akan berangkat menuju Jawa Tengah. Kita ingin menaklukan Gunung
tertinggi di Jawa Tengah setelah sebelumnya menaklukan Gunung tertinggi di Jawa
Timur yaitu Semeru. Kita sudah menyiapkan fisik dan mental. Pendakian kali ini
lebih berat dari sebelumnya, kita benar-benar harus mempersiapkan segala
kemungkinan yang akan terjadi nantinya.
Detik
berganti menit, menit berganti jam hingga jam berganti hari. Matahari terbit
dan langsung menerobos jendela kamarku tanpa permisi, hingga membangunkanku
dari tidur lelapku.
“Ra, cepet bangun.
Dimas udah dijalan mau kesini” ucap Ninda
“Dimas ? Dia mau jemput
aku ?”
“Jemput kita, Ra. Bukan
kamu doang. Yaudah cepetan kamu mandi, aku mau siap-siap sekalian beresin kamar
yang kayak kapal pecah ini” sindir Ninda
Aku langsung bangun dari tempat tidurku dan
berjalan gontai ke kamar mandi. Aku sengaja tidak membalas lagi perkataan teman
sekamarku itu. Teman sekamarku yang jadi sahabatku itu memang rajin, cerewet
dan menyebalkan.
Dikamar mandi, aku kembali melamunkan perkataanku tadi.
Aku geer kalau Dimas akan menjemptku, mngkin karena aku terlalu berharap. Dimas
memang kadang jemput aku dan Ninda untuk pergi ke kampus, tapi biasanya Dimas
selalu bilang sebelumnya kepadaku. Entah dia lupa mengabariku semalam atau memang
sudah bilang lewat Ninda.
“Raraaaaaa...
Cepetaann, ini udah siang” amuk Ninda
“Iya Ninda sayang,
sabar dong. Aku juga tahu sekarang udah siang bukan malem lagi, noh matahari
udah terik begituu” aku menggodanya
“Yaudah kalau kamu udah
tahu sekarang udah siang, cepetan dong” balas Ninda
Hampir setiap hari aku
dan Ninda membawakan drama itu, drama yang tak ada bosannya kami lakukan. Namun
aku dan Ninda sudah bisa mengerti dan memahami karakter masing-masing, 2 tahun
cukup bagi kami mengenal pribadi sahabat sendiri.
Setelah sampai dikampus dan mengikuti kelas, kita kembali
berkumpul dan membicarakan tentang pendakian ke Gunung Slamet. Dimas mulai
mengarahkan bagaimana perjalanan kesana dan semua antusias, kecuali aku.
Biasanya aku selalu bisa dikendalikan oleh Dimas, namun kali ini entah kenapa
aku merasa tidak bergairah dan bahkan merasa cemas.
“Ra, kamu kenapa ? kamu
sakit ? Nanti jadi ikut, kan ?” tanya Dimas yang ternyata sejak dari tadi
memperhatikan aku.
Aku hanya menatap
wajahnya, tersenyum dan mengangguk ke
arahnya mengisyaratkan bahwa aku baik-baik saja dan akan ikut bersamanya. Seketika
aku kembali memikirkan mimpiku tadi malam, aku tidak ingin mimpi burukku itu
terjadi. “Apa aku harus membatalkan pendakian ini ? ah tidak, tidak. Sahabatku
sudah sangat antusias dengan pendakian kali ini, bahkan lusa kita akan
berangkat. Aku tidak bisa membatalkannya begitu saja. Kamu kuat Ra, kamu bisa
Ra, buang jauh-jauh pikiran negatifmu itu” aku berbicara pada diriku sendiri
Setelah sampai di tempat kost, aku dan Ninda mulai
menyiapkan segala sesuatunya. Kami membagi tugas membawa peralatan, supaya
tidak membawa banyak peralatan, meringankan dan melengkapi satu sama lain. Saat
menyiapkan perlengkapan mendaki, seperti biasa, Ninda selalu mengoceh sendiri,
dia cerewet dengan semuanya.
Besoknya kita melewati pagi hari seperti biasa, aku yang
bangun siang, Ninda yang cerewet membangunkanku, Ninda yang membereskan kamar
sambil komat-kamit. Namun ada yang
janggal, biasanya saat aku mandi, Ninda selalu memburu-buru aku tapi kali ini
tidak seperti biasanya. Ketika aku selesai mandi, aku bahkan tidak melihat
sosok Ninda, aku kira dia hanya sedang di dapur. Tapi tak lama setelah aku
berpakain, masuklah Ninda dari puntu utama kost-an. Aku kebingungan melihat
tingkahnya yang tak seperti biasanya.
“Kamu dari mana, Da ?”
“Aku, aku tadi dari
parkiran sebentar”
“Dimas jemput kita ?”
“Iya, ayo cepet. Kamu
udah siap, kan ?”
Tanpa menunggu
jawabanku, Ninda langsung menarik tanganku untuk segera kebawah. Aku tak tahu
Dimas akan menjemput hari ini. Dan anehnya Ninda keluar saat aku mandi, biasanya
juga kalau dijemput Dimas, kita selalu ke parkiran bareng, tidak pernah ke
parkiran duluan meskipun Dimas sudah menunggu. Aneh, batinku.
Keanehan berlanjut saat di kampus, saat kelas berlangsung
biasanya Ninda duduk bersebelahan denganku, namun kali ini Ninda memilih duduk
di sebelah Dimas yang dibelakangnya ada Kevin dan Aldi. Mereka berempat seperti
sedang menjalankan rencana yang tidak ingin aku tahu. Entah apa itu, tapi yang
jelas aku sedikit cemburu dan kesal saat Ninda berdekatan dengan Dimas. Hari
ini kulalui dengan perasaan yang kacau sekaligus penasaran mengenai tingkah
sahabat-sahabatku.
Saat sampai di kost-an, aku menginterogasi Ninda seputar
tingkahnya hari ini mulai dari pagi hari sampai siang ini yang menurutku
ganjil. Ninda mengatakan bahwa tidak ada apa-apa dan semuanya baik-baik saja.
Meskipun aku berhenti menginterogasi dirinya, tapi aku tak mudah percaya dengan
seorang yang ada dihadapanku ini. Aku ragu dengan perkataannya, kukira dia
sedang menyembunyikan sesuatu yang melibatkanku namun tidak ingin aku
mengetahuinya.
Inilah hari yang ditunggu, hari dimana kita akan mendaki
Gunung Slamet. Kita sudah siap fisik dan mental untuk berjuang menaklukkan
Gunung tertinggi di Jawa Tengah. Diperjalanan, semua orang asyik dengan
dunianya sendiri, Aldi asyik dengan gadgetnya, Kevin asyik dengan psp-nya,
Ninda pun asyik dengan alam mimpinya padahal dia biasanya cerewet, Dimas pun
fokus menyetir dan mengamati jalanan, dan aku hanya memandangnya diam-diam
dengan perasaan cemas.
“Kenapa sih, Ra ?
perasaan dari kemaren kamu diem terus ?” Dimas memecahkan keheningan
“ngga papa kok, aku kan
pendiem” jawabku
“Pendiem dari Hongkong
? kamu kan biasanya pecicilan hahah”
“Jahat banget siiih”
“Bercanda doang, Ra.
Ketawa dong, senyum kek dari tadi kan cantik” goda Dimas
Perasaan cemasku
berkurang saat dia menggodaku dan secara otomastis bibirku pun tersenyum.
Kubuang dahulu perasaan cemas dan penasaran sejak kemarin menghantui ku itu
agar sahabatku tak curiga dan bertanya-tanya akan sikapku.
Perjalanan
menggunakan mobil berakhir di Purbalingga, kita harus melanjutkan perjalanan
dengan jalan kaki. Namun kulihat disekitarku hanya ada beberapa orang dan
seperti tak ada yang mau mendaki. Semakin kedalam semakin sepi dan tak ada
orang selain kita berlima. Mungkin karena kupikir ini bukan acara komunitas
yang segerombolan namun hanya kita saja yang ingin mendaki.
Aku
berjalan di atas tanah, bersama dirimu yang kucinta, kuberjalan dengan canda
tawa bersama. Yah, kita memang selalu berjalan diatas tanah di dunia ini.
Bersama orang-orang yang ku cintai aku lewati cerita kali ini, apalagi saat ini
aku selalu berdampingan dengan Dimas, orang yang kukagumi sejak dulu. Tak ada
kesepian sepanjang jalan, selalu saja ada pembicaraan yang menyenangkan yang
membuat kita tertawa bersama. Kita terus berjalan diiringi dengan senyuman
bersama dengan dirinya bernyanyi bersama. Memecahkan keheningan, aku dan Dimas
mengobrol di sepanjang jalan, di sela perjalanan Dimas pun sesekeli
bersenandung.
Malam telah menjemput, kini keadaan gelap gulita.
Semuanya sepakat untuk beristirahat dan tidur di tempat tersebut. Namun Dimas
tidak setuju dengan ide itu, dia tetap ingin melanjutkan pendakian. Terjadi perselisihan
saat itu antara para lelaki namun anehnya aku dan Ninda tidak boleh melihatnya.
“Mikir dong, diantara
kita ada cewek. Jangan egois jadi orang”
“Di luar itu bahaya,
pikirin juga keselamatan”
Hanya itu kata-kata
yang terdengar diantara mereka, Dimas tidak terdengar suaranya. Namun saat
kembali, mereka sepertinya telah menyelesaikannya dan Kevin menegaskan bahwa
kita akan beristirahat dahulu. Lalu kita mulai memasang tenda darurat dengan
secepat mungkin. Aldi dan Dimas mengumpulkan kayu untuk membuat api unggun. Saat
tenda telah terpasang semua kayu telah terkumpul.
“Dimas mana ?” tanyaku
pada Aldi
“Dia belum balik kesini
? bukannya tadi dia duluan yah ?” Aldi menjawab
“ayo kita berangkat,
dia pasti pingin cepet sampai puncak, daritadi kan dia pingin ngelanjutin
pendakian” sahutku
Kita berempat pun
langsung berangkat menuyusul Dimas, sepanjang jalan kita memanggil namanya.
Kini hatiku kembali cemas, pikiranku kembali terbayang mimpiku. Entah seperti
apa perasaan ku saat ini, tapi saat ku lihat wajah Aldi, Ninda dan Kevin,
mereka seolah biasa saja seperti tidak terjadi apa-apa.
“Dimas pasti sudah
dipuncak” Aldi mulai berbicara
“Yaudah, ayo kita susul
dia” ajakku
“ngga bisa, Ra” kali ini Ninda
“kenapa ? atau kita
lapor ke pos biar kita dapet pertolongan”
“Ra, kamu lupa ? kita
itu ngga lewat jalur umum, kita lewat jalur luar. Kita bukan lewat jalur
Blambangan yang ada posnya, kita pasti ngga terdaftar sebagai pendaki. Yang ada
nanti kita disana ditanya-tanya dulu” jelas Kevin
“terus sekarang gimana
? Gimana Dimas ?” tanyaku khawatir
Aku terus memanggil-manggil namanya, dengan
perasaan khawatir aku tetap melangkahkan kakiku. Namun sesuatu terlintas
dipikiranku bahwa dua hari yang lalu dia menjelaskan jalur pendakian Gunung
Slamet.
“Tunggu, kalian inget jalur
yang dijelasin Dimas waktu itu kan ?”
“Duh, aku ngga inget
tuh” Ninda menjawab
“Aku waktu itu kan ke
toilet, jadi ada sebagian yang aku ngga tau” kata Aldi
“Aku ngga merhatiin”
balas Kevi dengan cueknya
“Duh kalian ini gimana
sih ? masa ngga ada yang inget satu pun. Terus gimana sama Dimas ?”
“Heh jangan suka
nyalahin orang lain, kamu sendiri gimana ? lupa atau ngga merhatiin ?”bentak
Kevin
Seketika aku terdiam
dan tersentak mendengar apa yang diucapkan Kevin kepadaku. Aku langsung lemas
dan tak sanggup berdiri, aku terduduk lemah ditempat itu. Merenungkan kata-kata
Kevin yang menusuk bagai mata pisau yang tajam. “Harusnya aku mengikuti kata
hatiku saja waktu itu untuk membatalkan pendakian ini” kesalku pada diriku
sendiri.
Keheningan yang terjadi saat ini, tak ada sepatah kata
pun yang keluar diantara kita. Aku mulai memecahkan keheningan setelah
sebelumnya meredakan emosiku. Kutanyakan bagaimana solusinya, kita berunding
mencari jalan keluar untuk kejadian ini. Hingga akhirnya, Aldi mengajak kita kembali
ke tenda yang tadi belum sempat kita bereskan. Aku hanya mengikuti saja, aku
sudah pusing dengan semua ini, perasaan ku tak karuan.
Aku beristirahat sejenak dalam tenda, namun Ninda entah
kemana, aku sedang tak berniat mengurusinya. Dalam hati, aku terus memanggil
Dimas berharap ia akan mendengarnya dan kembali kesini, bodoh memang berpikir
seperti itu. Namun saat aku terdiam, Aldi berteriak membuatku terbangun dan
langsung keluar. Aku bertanya-tanya dan langsung mecari arah suara Aldi, entah
suara kegirangan atau suara ketakutan aku pun tak tahu.
“Lihat ini ! aku nemuin
ini di pojokan situ, kayaknya Dimas ketinggalan”
“Hah ? ketinggalan ?
berarti Dimas...” aku menangis saat itu juga
“Kamu jangan nangis
dulu dong, Ra. Kali aja dia udah hafal jalur ke puncaknya” tenang Ninda
“Yaudah mending
sekarang kamu tenang dulu, jangan nangis nyusahin orang aja. Sekarang ayokita
susul Dimas ke puncak, kalau bisa sebelum matahari terbit, semakin kita lama
diem semakin kita kedinginan” tegas Kevin
Kita
melanjutkan pendakian secepat dan sehati-hati mungkin. Hingga akhirnya kita
sampai di puncak Gunung Slamet, sebentar lagi mentari akan menyapa dunia ini.
Dan disini kita, di puncak Gunung Slamet bersama menghembus alam lepas,
takjubnya indah dunia kita. Tersadar akan seseorang, saat itu juga aku terkaget
meraskan tangan hangat yang menyentuh bahuku.
“Morning, Ra. Sunrise
di Gunung Slamet bagus yah ?”
Aku terdiam sejenak
seperti tersishir akan tatapannya, namun aku segera tersadar bahwa orang yang
ada dihadapanku ini orang yang kucari berjam-jam. Entah kenapa, aku malah
menangis mendengar perkataan lembutnya tadi.
“Ra, kok nangis sih ?
Nyariin aku yah ? sedih ngga ada aku ? Sekarang aku udah disini kok didepan
kamu”
“Iih, siapa yang
nangis” aku langsung menghapus air mataku “kamu tuh yang kegeeran, aku ngga
sedih kok ngga ada kamu” bantahku
“Masa sih ngga sedih ?
tapi tadi aku dapet laporan kok bahwa semalem ada yang frustasi gitu aku ilang”
Dimas menggodaku
Aku langsung melirik
kearah sahabat-sahabatku yang sedang memperhatikan aku dan Dimas. Campur aduk
yang aku rasakan, ada rasa malu, rasa kesal, rasa senang. Namun semuanya itu
berganti menjadi rasa bahagia setelah semuanya terbayar dengan kehadiran orang
yang ada dihadapanku sekarang. Perhatianku teralihkan oleh mentari yang sangat
indah.
Samar-samar aku
mendengar bisikan di telingaku “Aku sayang kamu, Ra. Indahnya rasa yang aku
punya” dan dia pun berbisik lagi “Dunia pun berkata bahwa kita kan bersama
slamanya”. Suara menenangkan itu lalu pergi terbawa angin. Aku tersenyum haru
saat itu dan tanpa kendali aku langsung memeluk Dimas.
“Ehm, enak yah pelukan
di Gunung Slamet lagi sunrise lagi. Mau dong dipeluk” goda Kevin
“Ngga mau, jangan
peluk-peluk. Kevin jahat” kataku
“Yaah, itu kan cuma
skenario yang dibikin sama orang itu tuh” menunjuk Dimas
“Jadi..” aku kaget dan
langsung memasang muka kesal
Semuanya tertawa
melihat mukaku yang tak terkendali, semuanya menertawakan aku. Akhirnya, Ninda
menjelaskan semuanya kepadaku dari mulai pagi aneh itu sampai hari ini. Kevin
pun menjelaskan skenario marah-marahnya kepadaku dan meminta maaf. Dan Aldi
hanya menceritakan skenario saat pengumpulan kayu bakar dan penemuan peta jalur
pendakian. Aku kesal saat itu, tapi aku sangat senang. Dimas hanya tertawa
sambil memelukku. Hingga siang menjelang kita tetap berada di puncak Gunung
Slamet.
“Huaaaaaa, negeri ini
indah sekalii” teriak Kevin
“Terima kasih
Tuhan”teriak Ninda
“Aku padamu, Indonesia”
lanjut Aldi
“I Love You” teriak
Dimas
“I love you too” bisik
Rara karena malu
“Ke siapa, Dim ?
Hahaha” goda Kevin
“Ngga mungkin ke aku
dong pastinya” bantah Ninda
“Eh masa ke aku sih ?
Hahah” goda Aldi
“I love you too Dimas”
aku menjawab dengan cepat
Semuanya langsung
tertawa terbahak-bahak tak terkecuali aku dan langsung berpelukan.
Setelah kita berpuas-puas di atas puncak Gunung Slamet,
kita pun turun dan berniat bersih-bersih. Saat menuruni gunung, tanganku tak
terlepas digenggaman Dimas. Walaupun aku tak bisa bergerak bebas tapi aku
senang mendapat perlakuan seperti itu. Kita terus berjalan, diiringi dengan
senyuman bersama dengan dirinya. Indahnya
rasa yang aku punya memiliki diri
seorang dia, seperti dunia yang berkata kita kan bersama.
Komentar
Posting Komentar